Fenomena Politik di Indonesia: Jangan Mengagungkan Jabatan

 

ilustrasi fenomena politik

Mengejar jabatan seringkali menutup keindahan budi pekerti manusia serta hilangnya kebermaknaan manusia sebagai makhluk yang mulia.

Oleh:  Nurma Dewi

Pendahuluan

Topik ini berangkat dari fenomena dunia politik di tanah air, tepatnya fenomena perilaku kaum elit politik yang memperlihatkan perilaku seperti tema di atas. Untuk mendapatkan jabatan, tidak jarang "membenarkan" segala cara. Di sini saya mengambilkan kalimat  membenarkan yang diberi tanda kutip. Biasanya sering digunakan kata "menghalalkan". 

Menurut saya, kata menghalalkan berkaitan dengan religi, yang asal katanya adalah halal. Lawan dari kata halal adalah haram. Kedua kata ini memberi sebuah kejelasan mana putih dan mana hitam. Artinya, seseorang yang tahu hitam dan putih tentunya memiliki pemahaman yang dalam terhadap sesuatu (halal dan haram, baik dan buruk). Dengan demikian, ia tidak mengikari Tuhannya, nurani dan kemanusiaan.

Sementara "membenarkan" bisa jadi dia mengetahui hakikatnya, tetapi karena faktor x dan faktor y, yang membuat seseorang terpasung dalam kata tersebut. Mungkin juga tanpa faktor y, hanya faktor x saja, yang kemudian membuat ia membenarkan segala cara. Sebab, konteks ini lepas dari benang religi, nurani dan kemanusiaan. Yang ada hanyalah bagaimana "AKU".

Memang, sebagai manusia, rasanya sangat mustahil menolak ketika ditawarkan sebuah jabatan. Bila prosesnya itu sesuai dengan norma, tentu tidak dipersoalkan. Hanya saja nanti manajemen leader seperti apa yang dijalani dan dipraktikkan.

Namun, tatkala prosesnya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku, yang penting bagaimana ia mendapatkan posisi, dan diperolehnya melalui proses yang buruk. Tentu ini tidak baik dalam pandangan agama, moral dan masyarakat. Perlu dipahami juga, ketika prosesnya buruk, maka hasilnya juga buruk.

Dalam literasi sejarah peradaban manusia, baik Timur maupun Barat, menyuguhkan sebuah informasi kehancuran peradaban, tatkala seseorang mengejar jabatan, tetapi  mengabaikan kaidah dan norma yang ada. 

Lebih buruknya lagi, lembaran sejarah memberikan catatan "hitam" pada manusia yang demikian. Sejak seseorang menjabat melalui mekanisme "setan", sejak itu pula hingga sekarang atau bahkan sepanjang usia dunia, ia berada dalam lembaran sejarah yang buruk. Begitulah sanksi sosial yang membuat dirinya hina. Ini adalah buah dari apa yang telah dilakukannya.

Mengejar jabatan seringkali menutup keindahan budi pekerti manusia serta hilangnya kebermaknaan manusia sebagai makhluk yang mulia. Allah telah menyebutnya dalam Al-Qur'an surah Al-Hadid (57) ayat 20:

"Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu".

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad saw juga mengingatkan, "Barangsiapa yang mencari dunia dengan cara berlebihan, Allah akan membuatnya fokus pada kekurangan dunia dan akan menyebabkan ketidakpuasan dalam hatinya." (HR. Tirmidzi).

Fenomena politik di Indonesia yang terpusat pada hasrat untuk mencapai jabatan dan kekayaan seringkali mencerminkan penyimpangan dari prinsip-prinsip etika dan nilai-nilai keadilan. Ketika pemimpin politik lebih memprioritaskan kepentingan pribadi daripada pelayanan kepada masyarakat, hal ini sesuai dengan peringatan Nabi Muhammad saw tentang risiko mencari dunia secara berlebihan. Dalam konteks ini, hadis tersebut dapat diartikan sebagai peringatan terhadap ambisi berlebihan yang dapat mengaburkan tujuan utama pelayanan publik.

Ketika politisi terlalu terfokus pada akuisisi kekuasaan dan kekayaan pribadi, hal ini dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Terjadinya ketidakpuasan dalam hati masyarakat bisa muncul karena kebijakan yang tidak berpihak pada kebutuhan rakyat, tetapi lebih mengutamakan kepentingan elit politik.

Oleh karena itu, memahami dan meresapi firman Allah Swt dan nasihat Nabi Muhammad saw ini dapat menjadi cermin untuk mengevaluasi dan mengubah perilaku politik yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip moral dan etika dalam melayani masyarakat.

Memetik Inspirasi dari Kepemimpinan Empat Sahabat Nabi

Siapa yang tidak mengenal kepemimpinan empat Khalifah, Abubakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Keempat khalifah ini adalah pemimpin yang dengan caranya masing-masing telah menjadi pemimpin dalam lintas kepercayaan, budaya, dan suku.

Kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq, mencerminkan sikap rendah hati dan tidak terlalu mencintai jabatan. Meskipun menjadi Khalifah, beliau hidup sederhana dan tidak memperkaya diri dari harta negara. Keutamaan Abu Bakar terletak pada ketakwaannya dan dedikasinya dalam melayani umat Islam.

Demikian pula kepemimpinan Umar bin Khattab, memberikan gambaran kuat tentang tidak terlalu mengagungkan jabatan. Meskipun menjadi Khalifah, Umar tetap hidup sederhana dan adil. Ia selalu mempertimbangkan kepentingan umat di atas kepentingan pribadinya dan tidak pernah terlalu terikat pada kemewahan jabatan.

Kepemimpinan Utsman bin Affan, mengilustrasikan pengendalian diri terhadap jabatan. Meskipun menjadi Khalifah, Usman hidup sederhana dan memberikan hak-hak rakyat dengan adil. Sikap rendah hati dan tidak terlalu mencintai jabatan memberikan contoh nyata bagaimana kebermaknaan hidup dapat diwujudkan di luar kedudukan sosial.

Begitu pula khalifah Ali bin Abi Thalib yang tidak mencintai jabatan dapat dilihat dalam sikapnya saat menolak hakim pertikaian yang melibatkan dirinya.

Meskipun memiliki hak untuk memutuskan pertikaian tersebut sebagai pemimpin, Ali lebih memilih menyerahkan kasus tersebut kepada hakim yang tidak memiliki hubungan langsung dengan dirinya.

Tindakan ini menunjukkan bahwa Ali tidak menggunakan posisinya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, melainkan untuk menjaga keadilan dan integritas lembaga peradilan.

Keengganannya untuk memanfaatkan jabatan untuk keuntungan pribadi menunjukkan bahwa Ali bin Abi Thalib mendasarkan tindakannya pada nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip Islam, bukan sekadar untuk mempertahankan kekuasaan atau keuntungan pribadi.

Salah satu fenomena politik yang memprihatinkan di Indonesia adalah adanya perilaku kurang etis di kalangan beberapa politisi, di mana tujuan utama mereka tampaknya lebih berfokus pada perolehan jabatan dan kekayaan pribadi daripada pelayanan masyarakat. Praktik korupsi, nepotisme, dan kolusi menjadi isu yang masih merasuki beberapa lapisan politik, mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga politik terkikis.

Kesimpulan

Apa yang disebut di atas, merupakan  contoh konkret dari kepemimpinan 4 khalifah. Sebuah pesonalitas yang begitu mengangumkan. Tinta sejarahpun mengabadikan keharuman setiap jejak langkah mereka. Begitulah, hukum alam memberikan penghargaan bagi orang-orang yang mencintai proses bukan mengejar posisi.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url